Senin, 08 Juni 2009

Kiprah Polwan dalam pembentukan Citra Polri

Bicara kiprah polwan dalam pembentukan citra Polri gampang-gampang susah juga, kita tahu kebanyakan orang awam melihat pekerjaan Polri sangat dekat dengan resiko. Ini sangat bertolak belakang dengan fitrah dasar seorang wanita yang "selalu ingin disayang, dilindungi juga penuh perasaan". mampukah Polwan berperan maksimal dalam kepolisian? ternyata jawabnya sangat mampu. Kenyataan dilapangan justru perbedaan gender ini tidak pernah menjadi hambatan dalam pelaksanaan tugas Kepolisian bahkan saat ini sudah banyak Kepala Kepolisian yang dijabat oleh seorang wanita.

Ada beberapa kelebihan yang dimiliki oleh seorang Polisi wanita. Meskipun dalam rekruitment Anggota Polisi, tidak ada perbedaan dalam seleksi namun justru menurut saya Polisi wanita lah yang punya "daya tarik lebih" dibandingkan laki-laki. Ini bukan berarti karena yang menulis laki-laki lo :) . Di era saat ini tindakan Preventif / pencegahan harus menjadi prioritas dibandingkan dengan tindakan Represif atau penegakan Hukum. dengan alasan ini, tindakan Polri yang dulu sangat identik dengan kekerasan serta alat kekuasaan, saat ini sudah berubah dan cenderung ke pemberdayaan potensi masyarakat.

Adanya program Polmas atau pemolisian masyarakat, menjadi bukti bahwa saat ini Polri benar-benar mengedepankan metode tindakan preventif. Dengan menjalin kerjasama yang baik dalam masyarakat, diharapkan masyarakat bisa benar-benar menjadi "polisi bagi dirinya sendiri" yang tentunya akan membantu Polri dalam menciptakan situasi masyarakat yang aman.

Kembali kebahasan awal tentang kiprah Polwan dalam pembentukan citra Polri, menurut saya wanita justru mempunyai peran potensi yang lebih besar dibandingkan polisi laki-laki untuk meraih hati masyarakat ke arah yang lebih postif dalam arti pembentukan citra, karena karakter seperti "mempunyai daya tarik, cenderung bersikap lemah lembut, simpatik, feminim" lebih dipunyai oleh mereka kaum hawa ini.

Minggu, 07 Juni 2009

Netralitas Polri dalam Pesta Demokrasi

Sebagai Insitusi Penegak Hukum, sudah sewajarnyalah Polisi harus netral, karena hanya dengan sikap itulah Polisi bisa berperan secara maxsimal menjalankan tugas pokoknya sebagai penegak Hukum, apalagi dalam ranah pesta demokrasi. Ini juga sesuai dengan peraturan Polri dalam UU no 2 th 2002 Pasal 28

(1) Kepolisian Negara Republik Indonesia bersikap netral dalam kehidupan politik dan tidak
melibatkan diri pada kegiatan politik praktis.
(2) Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia tidak menggunakan hak memilih dan dipilih.
(3) Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dapat menduduki jabatan di luar kepolisian
setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian.

Pada poin pertama sudah dijelaskan bahwa Polisi "Bersikap Netral dalam kehidupan Politik" dan "Tidak melibatkan diri pada kegiatan Politik Praktis". walaupun demikian itu tidak berarti Anggota polisi buta terhadap Politik, justru dengan begitu Seorang anggota Polisi harus juga belajar politik atau dengan kata lain "Seorang anggota Polisi harus tahu politik tapi tidak boleh berpolitik", karena peran Polri adalah sebagai penyeimbang atau petugas lapangan demi tegaknya keadilan yang terjadi pada dunia politik

Belajar dari sejarah pada pesta Demokrasi Pemilu presiden beberapa tahun lalu, yang mana diketemukan kasus VCD rekaman seorang pimpinan Polri yang mendukung pada kemenangan pasangan Capres tertentu, semoga cukup menjadi bahan instropeksi bagi institusi ini untuk lebih ketat mengontrol anggotanya agar tidak berpolitik.

Menanggapi tulisan di Harian Kompas, Rabu 22 April 2009 tentang Netralitas Polri dan Pemilu 2009, disebutkan bahwa "Ada yang janggal dengan posisi Polri yang seyogianya netral dalam pelaksanaan Pemilu 2009. Pertama, adanya telegram kepolisian daerah di beberapa provinsi yang menolak laporan beberapa Panwas tentang tindak pidana pemilu telah mengancam terhentinya proses ratusan perkara hukum (Kompas, 15/4). Kedua, penolakan Mabes Polri terhadap laporan Bawaslu yang menggugat kebijakan KPU sehubungan dengan pengesahan surat-surat suara yang tertukar"

Media pers sebagai fungsi kontrol yang kuat di masyarakat selalu melihat sepak terjang Polri berkaitan dengan netralitasnya. Menurut penulis semua komentar-komentar publik di media harus bisa menjadi fungsi kontrol juga bagi Polri dalam pelaksanaan tugasnya. Memang dalam kaitannya pada penanganan dugaan Tindak Pidana Pemilu pada pemilu legislatif kemarin sekilas polisi terkesan tidak bekerja maksimal. Banyak sekali komentar publik yang mengatakan bahwa banyak dari dugaan-dugaan pelanggaran pemilu yang tidak selesai. Namun yang harus dipahami bahwa dalam penanganan dugaan tindak pidana Pemilu Polisi tidak mempunyai kewenangan 100% dalam kata lain tidak bekerja sendiri. Polisi tetap dibatasi dan berjalan diatas prosedur rel Hukum Pemilu yang telah ditetapkan.

Sesuai peraturan ketika terjadi suatu dugaan pelanggaran pemilu, laporan masuk ke Panwaslu. Setelah itu laporan tersebut di godog bersama di forum “Sentra gakkumdu” yang terdiri dari Polisi, Panwaslu dan Jaksa. Apabila dalam dugaan tersebut ditemukan unsur pelanggaran pidana, maka sudah seharusnya polisi menindaklanjuti dengan proses penyidikan.

Namun pada kenyataan dilapangan ternyata banyak sekali celah-celah dari Undang-undang tersebut sepertinya justru menguntungkan para terduga subjek pelanggar itu sendiri. Sebagai contoh adanya deadline rentang waktu pelaporan yang hanya 3 hari dari terjadinya dugaan pelanggaran. Ketika melebihi dari 3 hari tersebut maka dianggap kedaluarsa. Memang dengan aturan tersebut semua pihak dituntut untuk bekerja keras dan maksimal. Contoh lain disebutkan di dalam Undang-Undang bahwa pelanggaran yang dikenai sangsi adalah “Partai Politik” namun di lapangan banyak dilakukan oleh perseorangan yang tidak terdaftar dalam sistem partai, sehingga Polisi pun tidak bisa secara bebas menjerat mereka yang diduga melakukan pelanggaran tersebut.

Mengkaji hal ini, sepertinya kita semua harus sadar bahwa Peraturan-peraturan Pemilu tersebut adalah produk Politik juga, sehingga masih banyak sekali celah-celah yang bisa dimanfaatkan oleh para elite politik untuk lolos dari jeratan Hukum, Polri sebagai penegak hukum pun harus rela juga menghadapi kenyataan tersebut. Semoga hal ini bisa sebagai instropeksi diri semua pihak agar kedepan bisa menjadi lebih baik lagi.

Semoga hal ini tidak mengurangi niat baik Polisi untuk selalu Netral dalam dunia politik dan tidak mengorbankan kepentingan yang lebih besar yaitu bangsa dan negara. Saya tidak bisa membayangkan bagaimana misalnya kalau proses Demokrasi suatu negara tidak dikawal dengan upaya penegakan Hukum, pastilahakan terjadi suatu kekacauan, dan Polri sebagai institusi pengawal dan penegak Hukum harus benar-benar pandai dalam menjabarkan hal ini.

Semoga Polri tidak mundur walau selalu mendapatkan makian, karena memang harus ke Polisi cacian-caian itu diberikan, mau kemana lagi ? harapannya cacian dan makian untuk institusi ini bisa sebagai vitamin bagi Polri untuk menjadi lebih baik”jasa terterhimpun, Dosa Tak berampun” begitu kira-kira anekdot bagi seorang anggota polri. Maju terus Polisiku!

Mau tau Polisi Jadul ?
Ditulis oleh erwin susetya, SH

Jumat, 05 Juni 2009

Dualisme tugas dalam membangun Kepercayaan

Sebuah profesi selalu menuntut pelaksanaan tugas yang maksimal apalagi kalau bersentuhan langsung dengan kehidupan masyarakat, salah satunya adalah profesi Polisi. Polisi sebagai Alat negara penegak Hukum sekaligus pelindung, pengayom dan pelayan masyarakat harus benar memahami bagaimana profesi ini harus bekerja dan bersikap di masyarakat. Bila kita simak secara sepintas sepertinya peran Polisi mengandung dualisme tugas di sisi kehidupan yang begitu kontras yaitu "antara melayani masyarakat dan penegakan atau supremasi Hukum".

Ada 2 hal sikap yang berlawanan yang harus dikuasai seorang anggota Polri. dalam Melayani mereka dituntut untuk bisa bersikap lemah lembut, good excellent dalam service layaknya seorang resepsionis Hotel yang ramah-ramah dan disisi lain juga dituntut untuk bisa selalu tegas dan keras "bukan dalam arti fisik" dalam penegakan Hukum. dualisme sikap inilah yang mungkin menjadikan polisi satu-satunya institusi yang"paling dicari dan dibenci".

berbicara tentang hal ini saya teringat akan program trust Building yang dicanangkan Polri. Memang seharusnya "trust building" menjadi sebuah langkah Polri di awal reformasi Polri karena logikanya kalau masyarakat sudah percaya maka apa yang menjadi tujuan polri menciptakan perasaan aman di masyarakat bisa lebih mudah dicapai, upaya-upaya kerjasama akan juga lebih mudah dilaksanakan.

"Sebuah kepercayaan masyarakat" itulah yang harus ada dan benar-benar dijaga oleh institusi ini, dan ini berkaitan erat dengan masalah citra kepolisian. kita akui memang saat ini citra polisi selalu dan masih terpuruk, namun keterpurukan profesi polisi ini semoga tidak menjadikan para bhayangkara-bhayangkara bangsa menjadi nglokro dalam artian kehabisan semangat, karena bagaimanapun juga "kembali ke awal" polisi tetap selalu dicari. kemana lagi masyarakat dan media melihat apabila ada suatu kejahatan disuatu tempat kalau tidak ke Polisi ?

dengan alasan itulah menurut saya untuk bisa membangun kepercayaan terhadap institusi, seorang polisi dituntut untuk selalu pandai berperan dan bersikap secara benar disegala medan sosial masyarakat. jangan lagi menjadi polisi jadul yang terkadang masih memanfaatkan masyarakat untuk kepentingan tertentu atau golongan

ditulis oleh erwin susetya, SH

Kamis, 04 Juni 2009

POLISI JADUL

Sebuah anekdot yang cukup menggelitik juga bagi para penegak Hukum Polisi yang tidak segera mau mengikuti gerbong kereta perubahan yang mana perubahan / reformasi ini mau tidak mau harus SEGERA, CEPAT dan TETAP berjalan mengikuti laju arus reformasi masyarakat itu sendiri. Institusi Polri bagaikan gerbong kereta dengan Peraturan / Hukum sebagai Relnya. Kemajuan teknologi yang semakin pesat menimbulkan berbagai permasalahan yang tidaklah mudah untuk selalu diatasi. Profesi Polisi mempunyai peran salah satunya sebagai fungsi Regulator dan operator dalam menjamin ketertiban dan penegakan Hukum, karena perkembangan masyarakat tanpa diikuti fungsi pengendalian faktor ini ( Ketertiban dan penegakan Hukum ) bisa dipastikan tidak akan berjalan, karena muara dari itu semua adalah Perasaan aman dan keadilan yang ada di dalam masyarakat.

Menyimak bagaimana Polisi Indonesia berkiprah saat ini, sepertinya permasalahan paling besar justru pada kondisi internal Kepolisian itu sendiri yang harus segera diperbaiki. Kita semua tahu berita paling hangat pada kasus seorang begawan Hukum begitu saya menyebutnya "Mr.Antasari" yang terlibat kasus pembunuhan yang mana didalamnya ada keterlibatan seseorang yang justru beliau adalah salah satu pimpinan Polri "mr Wilardi wizard".

Mungkin dan pasti saya yakin banyak masyarakat bertanya, saya pun juga, kok bisa ya? ini terjadi, namun itu sebuah realitas. tentu ada satu hal yang tidak bisa kita abaikan yaitu"Faktor Mental Anggota Polri disemua level baik ditingkat pimpinan sampai bawahan " harus benar-benar menjadi agenda sangat penting yang harus segera diselesaikan. kalau tidak faktor ini akan tetap menyeret polisi indonesia pada sebuah sistem polisi jadul..... yaitu Polisi Jaman dulu. keterpurukan Profesi Polri telah menjadi bagian yang harus diakui oleh institusi ini sebagai cermin supaya menjadi lebih baik. Hidup Reformasi Polisi Indonesia

ditulis oleh erwin susetya

Rabu, 03 Juni 2009

Reformasi Polri itu . . .

Tokoh dalam kelembagaan sosial dan kelembagaan Hukum, Itulah Polisi. Polisi menjadi suatu institusi yang sangat menarik dikaji karena Hanya institusi Polri lah yang mempunyai ranah kewenangan paling luas di berbagai lini kehidupan masyarakat. Jika di prosentase menurut saya Polri mempunyai 2 hal istimewa yang sama-sama berposentase 50% dan 50% atau fivety fivety :) Polri adalah Institusi yang paling banyak dicari tapi juga dibenci oleh masyarakat. dengan posisi seperti ini maka Polri harus selalu pandai dalam menempatkan diri dalam bersikap di masyarakat. Menyusul era perubahan masyarakat yang sangat cepat, Polri sebagai institusi yang paling sentral dalam hal penegakan Hukum harus juga mau bergerak lebih cepat dari perubahan sosial masyarakat itu sendiri.

Untuk itulah sebuah reformasi dalam institusi ini, mau tidak mau harus segera di kebut. kalau tidak maka Polisi akan hanya sekedar nama dan tidak mempunyai nilai tambah dalam kontribusi kemajuan bangsa. bisa-bisa negara rugi menggaji para anggota Polri dikarenakan mereka tidak mampu melaksanakan Tugas pokoknya sebagai pelayan , pelindung dan pelayan masyarakat.

Dengan alasan itulah Dalam berperan dan bersikap seharusnya semua anggota Polri harus benar-benar memahami Apa perannya, apa tugas pokoknya, dan juga yang tidak kalah penting harus benar memahami hakekat kemana institusi itu akan berjalan.

Mengkaji tentang reformasi Institusi Polri, Polisi telah menetapkan 3 jalur reformasi yang harus segera benar-benar direformasi yaitu " reformasi STRUKTURAL, reformasi INSTRUMENTAL, dan reformasi KULTURAL. ke tiga hal ini tentu harus menjadi perhatian oleh semua anggota Polri, tidak hanya sekedar pada level Pimpinan. dengan dimulai dari persamaan visi, misi, serta pemahaman oleh semua personel Polri, diharapakan Reformasi Polri Itu . . . bisa segera direalisasikan menuju kualitas Polri yang tangguh, benar-benar Professioanal dan bermoral.

erwin susetya