Sebagai Insitusi Penegak Hukum, sudah sewajarnyalah Polisi harus netral, karena hanya dengan sikap itulah Polisi bisa berperan secara maxsimal menjalankan tugas pokoknya sebagai penegak Hukum, apalagi dalam ranah pesta demokrasi. Ini juga sesuai dengan peraturan Polri dalam UU no 2 th 2002 Pasal 28
(1) Kepolisian Negara Republik Indonesia bersikap netral dalam kehidupan politik dan tidak
melibatkan diri pada kegiatan politik praktis.
(2) Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia tidak menggunakan hak memilih dan dipilih.
(3) Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dapat menduduki jabatan di luar kepolisian
setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian.
Pada poin pertama sudah dijelaskan bahwa Polisi "Bersikap Netral dalam kehidupan Politik" dan "Tidak melibatkan diri pada kegiatan Politik Praktis". walaupun demikian itu tidak berarti Anggota polisi buta terhadap Politik, justru dengan begitu Seorang anggota Polisi harus juga belajar politik atau dengan kata lain "Seorang anggota Polisi harus tahu politik tapi tidak boleh berpolitik", karena peran Polri adalah sebagai penyeimbang atau petugas lapangan demi tegaknya keadilan yang terjadi pada dunia politik
Belajar dari sejarah pada pesta Demokrasi Pemilu presiden beberapa tahun lalu, yang mana diketemukan kasus VCD rekaman seorang pimpinan Polri yang mendukung pada kemenangan pasangan Capres tertentu, semoga cukup menjadi bahan instropeksi bagi institusi ini untuk lebih ketat mengontrol anggotanya agar tidak berpolitik.
Menanggapi tulisan di Harian Kompas, Rabu 22 April 2009 tentang Netralitas Polri dan Pemilu 2009, disebutkan bahwa "Ada yang janggal dengan posisi Polri yang seyogianya netral dalam pelaksanaan Pemilu 2009. Pertama, adanya telegram kepolisian daerah di beberapa provinsi yang menolak laporan beberapa Panwas tentang tindak pidana pemilu telah mengancam terhentinya proses ratusan perkara hukum (Kompas, 15/4). Kedua, penolakan Mabes Polri terhadap laporan Bawaslu yang menggugat kebijakan KPU sehubungan dengan pengesahan surat-surat suara yang tertukar"
Media pers sebagai fungsi kontrol yang kuat di masyarakat selalu melihat sepak terjang Polri berkaitan dengan netralitasnya. Menurut penulis semua komentar-komentar publik di media harus bisa menjadi fungsi kontrol juga bagi Polri dalam pelaksanaan tugasnya. Memang dalam kaitannya pada penanganan dugaan Tindak Pidana Pemilu pada pemilu legislatif kemarin sekilas polisi terkesan tidak bekerja maksimal. Banyak sekali komentar publik yang mengatakan bahwa banyak dari dugaan-dugaan pelanggaran pemilu yang tidak selesai. Namun yang harus dipahami bahwa dalam penanganan dugaan tindak pidana Pemilu Polisi tidak mempunyai kewenangan 100% dalam kata lain tidak bekerja sendiri. Polisi tetap dibatasi dan berjalan diatas prosedur rel Hukum Pemilu yang telah ditetapkan.
Sesuai peraturan ketika terjadi suatu dugaan pelanggaran pemilu, laporan masuk ke Panwaslu. Setelah itu laporan tersebut di godog bersama di forum “Sentra gakkumdu” yang terdiri dari Polisi, Panwaslu dan Jaksa. Apabila dalam dugaan tersebut ditemukan unsur pelanggaran pidana, maka sudah seharusnya polisi menindaklanjuti dengan proses penyidikan.
Namun pada kenyataan dilapangan ternyata banyak sekali celah-celah dari Undang-undang tersebut sepertinya justru menguntungkan para terduga subjek pelanggar itu sendiri. Sebagai contoh adanya deadline rentang waktu pelaporan yang hanya 3 hari dari terjadinya dugaan pelanggaran. Ketika melebihi dari 3 hari tersebut maka dianggap kedaluarsa. Memang dengan aturan tersebut semua pihak dituntut untuk bekerja keras dan maksimal. Contoh lain disebutkan di dalam Undang-Undang bahwa pelanggaran yang dikenai sangsi adalah “Partai Politik” namun di lapangan banyak dilakukan oleh perseorangan yang tidak terdaftar dalam sistem partai, sehingga Polisi pun tidak bisa secara bebas menjerat mereka yang diduga melakukan pelanggaran tersebut.
Mengkaji hal ini, sepertinya kita semua harus sadar bahwa Peraturan-peraturan Pemilu tersebut adalah produk Politik juga, sehingga masih banyak sekali celah-celah yang bisa dimanfaatkan oleh para elite politik untuk lolos dari jeratan Hukum, Polri sebagai penegak hukum pun harus rela juga menghadapi kenyataan tersebut. Semoga hal ini bisa sebagai instropeksi diri semua pihak agar kedepan bisa menjadi lebih baik lagi.
Semoga hal ini tidak mengurangi niat baik Polisi untuk selalu Netral dalam dunia politik dan tidak mengorbankan kepentingan yang lebih besar yaitu bangsa dan negara. Saya tidak bisa membayangkan bagaimana misalnya kalau proses Demokrasi suatu negara tidak dikawal dengan upaya penegakan Hukum, pastilahakan terjadi suatu kekacauan, dan Polri sebagai institusi pengawal dan penegak Hukum harus benar-benar pandai dalam menjabarkan hal ini.
Semoga Polri tidak mundur walau selalu mendapatkan makian, karena memang harus ke Polisi cacian-caian itu diberikan, mau kemana lagi ? harapannya cacian dan makian untuk institusi ini bisa sebagai vitamin bagi Polri untuk menjadi lebih baik”jasa terterhimpun, Dosa Tak berampun” begitu kira-kira anekdot bagi seorang anggota polri. Maju terus Polisiku!
Mau tau Polisi Jadul ?
Ditulis oleh erwin susetya, SH
(1) Kepolisian Negara Republik Indonesia bersikap netral dalam kehidupan politik dan tidak
melibatkan diri pada kegiatan politik praktis.
(2) Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia tidak menggunakan hak memilih dan dipilih.
(3) Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dapat menduduki jabatan di luar kepolisian
setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian.
Pada poin pertama sudah dijelaskan bahwa Polisi "Bersikap Netral dalam kehidupan Politik" dan "Tidak melibatkan diri pada kegiatan Politik Praktis". walaupun demikian itu tidak berarti Anggota polisi buta terhadap Politik, justru dengan begitu Seorang anggota Polisi harus juga belajar politik atau dengan kata lain "Seorang anggota Polisi harus tahu politik tapi tidak boleh berpolitik", karena peran Polri adalah sebagai penyeimbang atau petugas lapangan demi tegaknya keadilan yang terjadi pada dunia politik
Belajar dari sejarah pada pesta Demokrasi Pemilu presiden beberapa tahun lalu, yang mana diketemukan kasus VCD rekaman seorang pimpinan Polri yang mendukung pada kemenangan pasangan Capres tertentu, semoga cukup menjadi bahan instropeksi bagi institusi ini untuk lebih ketat mengontrol anggotanya agar tidak berpolitik.
Menanggapi tulisan di Harian Kompas, Rabu 22 April 2009 tentang Netralitas Polri dan Pemilu 2009, disebutkan bahwa "Ada yang janggal dengan posisi Polri yang seyogianya netral dalam pelaksanaan Pemilu 2009. Pertama, adanya telegram kepolisian daerah di beberapa provinsi yang menolak laporan beberapa Panwas tentang tindak pidana pemilu telah mengancam terhentinya proses ratusan perkara hukum (Kompas, 15/4). Kedua, penolakan Mabes Polri terhadap laporan Bawaslu yang menggugat kebijakan KPU sehubungan dengan pengesahan surat-surat suara yang tertukar"
Media pers sebagai fungsi kontrol yang kuat di masyarakat selalu melihat sepak terjang Polri berkaitan dengan netralitasnya. Menurut penulis semua komentar-komentar publik di media harus bisa menjadi fungsi kontrol juga bagi Polri dalam pelaksanaan tugasnya. Memang dalam kaitannya pada penanganan dugaan Tindak Pidana Pemilu pada pemilu legislatif kemarin sekilas polisi terkesan tidak bekerja maksimal. Banyak sekali komentar publik yang mengatakan bahwa banyak dari dugaan-dugaan pelanggaran pemilu yang tidak selesai. Namun yang harus dipahami bahwa dalam penanganan dugaan tindak pidana Pemilu Polisi tidak mempunyai kewenangan 100% dalam kata lain tidak bekerja sendiri. Polisi tetap dibatasi dan berjalan diatas prosedur rel Hukum Pemilu yang telah ditetapkan.
Sesuai peraturan ketika terjadi suatu dugaan pelanggaran pemilu, laporan masuk ke Panwaslu. Setelah itu laporan tersebut di godog bersama di forum “Sentra gakkumdu” yang terdiri dari Polisi, Panwaslu dan Jaksa. Apabila dalam dugaan tersebut ditemukan unsur pelanggaran pidana, maka sudah seharusnya polisi menindaklanjuti dengan proses penyidikan.
Namun pada kenyataan dilapangan ternyata banyak sekali celah-celah dari Undang-undang tersebut sepertinya justru menguntungkan para terduga subjek pelanggar itu sendiri. Sebagai contoh adanya deadline rentang waktu pelaporan yang hanya 3 hari dari terjadinya dugaan pelanggaran. Ketika melebihi dari 3 hari tersebut maka dianggap kedaluarsa. Memang dengan aturan tersebut semua pihak dituntut untuk bekerja keras dan maksimal. Contoh lain disebutkan di dalam Undang-Undang bahwa pelanggaran yang dikenai sangsi adalah “Partai Politik” namun di lapangan banyak dilakukan oleh perseorangan yang tidak terdaftar dalam sistem partai, sehingga Polisi pun tidak bisa secara bebas menjerat mereka yang diduga melakukan pelanggaran tersebut.
Mengkaji hal ini, sepertinya kita semua harus sadar bahwa Peraturan-peraturan Pemilu tersebut adalah produk Politik juga, sehingga masih banyak sekali celah-celah yang bisa dimanfaatkan oleh para elite politik untuk lolos dari jeratan Hukum, Polri sebagai penegak hukum pun harus rela juga menghadapi kenyataan tersebut. Semoga hal ini bisa sebagai instropeksi diri semua pihak agar kedepan bisa menjadi lebih baik lagi.
Semoga hal ini tidak mengurangi niat baik Polisi untuk selalu Netral dalam dunia politik dan tidak mengorbankan kepentingan yang lebih besar yaitu bangsa dan negara. Saya tidak bisa membayangkan bagaimana misalnya kalau proses Demokrasi suatu negara tidak dikawal dengan upaya penegakan Hukum, pastilahakan terjadi suatu kekacauan, dan Polri sebagai institusi pengawal dan penegak Hukum harus benar-benar pandai dalam menjabarkan hal ini.
Semoga Polri tidak mundur walau selalu mendapatkan makian, karena memang harus ke Polisi cacian-caian itu diberikan, mau kemana lagi ? harapannya cacian dan makian untuk institusi ini bisa sebagai vitamin bagi Polri untuk menjadi lebih baik”jasa terterhimpun, Dosa Tak berampun” begitu kira-kira anekdot bagi seorang anggota polri. Maju terus Polisiku!
Mau tau Polisi Jadul ?
Ditulis oleh erwin susetya, SH
Tidak ada komentar:
Posting Komentar